Persepsi adalah Biang Masalah

[13] Persepsi adalah Biang Masalah Bossman Mardigu Wowiek - Sadar Kaya

Percayakah Anda bahwa dalam pelajaran millionaire mindset, persepsi merupakan hal nomor satu yang dirubuhkan? Karena disampaikan di sesi awal, inilah pelajaran yang paling banyak menghasilkan resistensi atau perlawanan dari banyak peserta, termasuk saya.

Contoh persepsi beberapa orang yang berkomentar seperti ini, "Zaman sekarang banyak perempuan matre, lihat lelaki hanya dari ukuran materi."

Dalam millionaire mindset, persepsinya bukan seperti itu, tetapi seperti ini, "Hanya Ielaki kere yang bilang bahwa semua perempuan matre!"

Anda lihat bedanya, kan? Persepsi ini bisa membuat Anda tertohok-tohok, tetapi hati kecil sebenarnya mengiyakan juga.

Atau contoh lainnya persepsi seperti ini, "Belagu banget sih, orang pakai motor Harley Davidson. Suaranya menggelegar berisik, gayanya sombong". Tidak jarang kita mendengar komentar seperti itu, bukan?

Akan tetapi, sebenarnya pernyataan tersebut merupakan antitesis atau lawan dari sisi conscious pikiran yang mengatakan, "Saya tidak mampu membeli motor Harley." Karena itu, sebagai pelampiasan, keluarlah omongan negatif yang mengutarakan persepsi dari sisi buruknya.

Di awal-awal sesi, semua diacak-acak begini. Ya, otak kita rasanya seperti dibolak-balik. Ini merupakan suatu hal yang membuat tidak nyaman, tetapi dalam pikiran di hati kecil, rasanya seperti ada yang menyeletuk, "Iya juga sih."

Karena sudah ada kesepakatan antara sesama peserta dan fasilitator yang mengajar bahwa mereka akan menggunakan bahasa langsung, mau tak mau persepsi tersinggung, harga din, gengsi, atau ilmu apa pun yang dipegang sebagai kebenaran versi diri peserta, harus ditanggalkan.

Pasalnya, membawa persepsi lama akan membuat Anda menjadi seperti apa Anda sekarang ini. Jadi, di dalam kelas, kalimat dan kata-kata yang direct menjadi senjata percepatan pembelajaran. Contohnya ketika saya dijadikan subjek tanya jawab.

Mr. Mardigu, what do you think about Bently or Rolls Royce? Quick answer. No thinking, please?"

Saya jawab, mobil mewah, mobil mahal, mobil orang kaya, mobil buat pamer.

"Good, that is a snap answer very straight forward, and it shows you that you are having a 'poverty consciousness':" katanya. Ya, dia bilang itu membuktikan bahwa saya memiliki kesadaran miskin. Kemudian dia meIanjutkan, "Kamu berjarak dengan kekayaan dan karena itu kamu kerja sekuat tenaga. terapi pola pikir miskinmu membawa kamu kembali ke dunia miskin."

Saya terkejut dengan penjabarannya, tetapi karena sejak awal sudah disepakati untuk tidak boleh tersinggung dan harus siap jika persepsi kita dirubuhkan, kata-kata tersebut pun rasanya nancep langsung ke akar pikiran bawah sadar saya.

"Bruce, how about you?" Si fasilitator Geoff bertanya kepada peserta dari Filipina yang botak, skin head. Dijawab cepat oleh Bruce, "That's my car!' Kontan saja seisi kelas tergelak.

"That’s what you called prosperity consciousness!" tukas Geoff.

Kalimatnya itu membawa saya melamun, teringat kembali pada suatu masa ketika saya berdialog dengan Ketut Masagung—anak ketiga dari Masagung, pendiri Toko Buku Gunung Agung dan Toko BUKU Walisongo; pemilik Hotel Nikko yang kini menjadi Pullman dan Gedung Wisma Nusantara, dan banyak lagi list bisnis dari ketiga putra Alm. Masagung.

Saya mengenal Ketut Masagung selama Iebih dari 25 tahun. Bahkan, sampai saat ini kami masih sering bertemu seminggu sekali, SMS dan BBM bisa dua hari sekali. Suatu hari, saya bertanya kepada sahabat saya itu.

"Bro, bagaimana awal muasal keluarga Masagung ini bisa membangun kelimpahan bisnis hingga seperti sekarang? Awalnya apa yang Alm. Masagung Iakukan?"

Singkat cerita, Ketut Masagung mengisahkan bahwa bapaknya dulu pegawai bagian sales yang gigih, setiap hari berjualan buku. Namun, di hati kecilnya ia selalu berkata bahwa bekerja seperti itu artinya membangun kerajaan orang lain, dan ini ada batasnya.

Pemikiran itu memenuhi isi kepalanya setiap saat. Dia ingin membuka usahanya sendiri, membangun kerajaannya sendiri.

Kemudian, ada satu rumah di Jalan Kwitang 10, yang setiap hari selalu ia Iewati. Dia selalu menghayal, andaikan dia bisa memiliki rumah itu, kemudian menjadikannya tempat untuk membuka usahanya.

Rumah itu milik sepasang suami istri warga negara Belanda. Dan, suatu hari, mereka sekeluarga harus meninggaIkan lndonesia karena sejak Perjanjian Linggarjati ditandatangani, Belanda harus angkat kaki.

Akhirnya keIuarga pemilik rumah di Jalan Kwitang itu pun memasang iklan di koran dengan harga murah, tetapi tidak ada peminat. Kemudian mereka memasang informasi di depan rumah dengan harga Iebih murah lagi, juga tidak ada peminat.

Sampailah suatu hari sang istri berkata kepada suaminya, "Sayang sekaIi meninggalkan aset di negara orang seperti ini. Bagaimana kalau kita tawarkan ke orang yang lewat sini? Saya perhatikan ada seorang anak muda berwajah oriental yang setiap hari lewat. Dan, dari raut mukanya sepertinya dia orang yang berdedikasi, rajin kerja, dan pandai. Siapa tahu dia berminat, Pak?"

Anak muda yang dimaksud sang istri tak lain adalah Masagung. Maka, suatu hari, ketika Masagung Iewat, dipanggillah dia dan ditawarkanlah rumah tersebut. Tentu saja tawaran ini disambut antusias oleh Masagung. Sayangnya, begitu disebut harga, Masagung tidak sanggup.

Padahal, harga tersebut sudah super-super murah dibandingkan penawaran via koran atau bahkan tanda di depan rumah. Tapi apa mau dikata, uang yang Masagung kumpulkan belum sampai segitu.

Akhirnya sang suami menawarkan solusi agar Masagung mencicil selama 5 tahun, Masagung pun menyanggupi. Dia berusaha keras bekerja mencicil kewajibannya dan dikirim langsung ke Belanda. Dan, benar saja, 5 tahun kemudian dia Iunasi rumah tersebut.

Ketut Masagung menyimpulkan ceritanya, "Begini, Wiek. Misalkan dulu Bapak tidak pernah mengatakan berkali-kali bahwa dia akan punya bisnis sendiri. Misalkan dulu Bapak tidak pernah membatin setiap Iewat rumah itu, bahwa dia ingin memulai bisnisnya di sana.

"Misalkan dulu dia tidak mengulang-ulang mantra dalam hatinya, 'Ini rumah saya, ini kantor saya, ini kerajaan bisnis saya.' Pasti rumah itu dibeli orang lain, bukan ditawarkan kepada dia. Ketika dia berkata tidak mampu. pasti si pemilik rumah akan mencari pembeli yang mampu, bukan menawarkan solusi mencicil kepada dia."

Ya, intinya adalah percaya sebelum terjadi, pasti akan terjadi. Dan hal ini rupanya diwariskan kepada ketiga anaknya.

Pada saat sesi tanya jawab dengan Geoff tentang persepsi prosperity consciousness versus poverty consciousness atau kesadaran kemakmuran melawan kesadaran kemiskinan, saya pun nyambung dan saya memperoleh aha experience—pengalaman yang membuat saya berkata
dalam hati, 'Aha! Sekarang saya mengerti!'

***

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter