Apa Saja Isi Alam Bawah Sadar Seseorang?

[19] Apa Saja Isi Alam Bawah Sadar Seseorang? Bossman Mardigu Wowiek - Sadar Kaya

Dalam sebuah seminar, saya didaulat menjadi salah seorang narasumber. Seminar yang diselenggarakan Januari 2010 ini berjudul "Eksis di Tengah Krisis" dan disponsori beberapa perusahaan, seperti bank, maskapai, dan banyak lagi. Narasumber lain adalah orang-orang kompeten di bidangnya. Ada pengusaha, entertainer, serta profesional yang telah membuktikan pengalamannya melewati krisis 1997/1998.

Memang, saat itu semua negara jatuh dalam krisis resesi, negara ASEAN mengalami devaluasi. bahkan rupiah terdevaluasi hingga 500% dari Rp2.500/USD hingga Rp12.500/USD hingga krisis 2009—yang diawali krisis mortgage loan perumahan di Amerika yang merubuhkan Lehman Brothers dan A1G—yang berpengaruh ke seluruh dunia.

Seminar terbuka, umum, dan gratis ini dihadiri berbagai kalangan. Dari mahasiswa, pedagang kaki lima, ibu rumah tangga, pengusaha menengah, bahkan banyak profesional dan pengusaha atas. Topik yang saya bicarakan adalah "Millionaire Mindset".

Berlangsung dari pukul 9 hingga pukul 17, acara ini diisi oleh 6 narasumber. Saya mendapat giliran untuk berbicara tepat setelah makan siang, yaitu sekitar pukul 13. Peserta cukup antusias sehingga semua mengisi ruangan segera. Setelah moderator memperkenalkan nama dan CV ringkas saya, saya pun membuka dengan sapaan rutin.

Belum sempat saya berbicara panjang, seorang di barisan depan mengambil mic dan mengajukan pertanyaan sekaligus pernyataan.

"Pak Mardigu diundang sebagai apa kapasitasnya? Millionaire mindset itu apa hubungannya dengan seminar ini? Kalau tidak ada hubungannya, sebaiknya dilewati saja!" katanya.

Kontan saja saya terkejut. Dan, belum berhenti keterkejutan saya, peserta lain mengajukan pernyataan senada dengan menggunakan mic satu lagi, dia berada di posisi barisan tengah.

“Apa hubungan seorang pengamat teroris dan intelegen dengan seminar ‘Eksis di tengah krisis'? Lalu, membawakan tema 'Millionaire Mindset'. Apakah Bapak seorang miliuner?"

Peserta tersebut memprotes dan mempertanyakan keabsahan keilmuan saya dengan korelasi isi seminar.

Saya agak kebingungan, begitu juga moderator. Sebelum saya bisa mengendalikan suasana, seorang ibu menimpali dengan keras tanpa mic, tetapi suaranya terdengar ke seluruh ruangan. "Ngapain tukang hipnotis teroris ada di sini? Apa hubungannya hipno-hipnoan dengan 'Millionaire Mindset' dan seminar ini?"

Peserta yang pertama bersuara menambahkan, 'Apakah Anda pebisnis? Apa buktinya Anda pebisnis dan miliuner? Jangan sampai Anda mengada-ngada. Apa hubungannya hipno dengan mindset? Seminar ini tentang 'Eksis di Tengah Krisis', apa hubungannya dengan narasumber ini? Tadi dari Kacang Garuda menceritakan pengalamannya dan kami sangat terinspirasi.

"Lalu Pak Liem Siauw Bok dari Triwarsana Dunia Entertainment membuktikan kepakarannya. Terakhir Pak—siapa—itu dari bank, yang dia berusaha dan bawah hingga berhasil—(note: maksudnya Pak Agus Martowardojo yang saat itu menjabat sebagai Menteri Keuangan).

"Anda membawakan 'Millionaire Mindset', sementara kami kenal Anda sebagai seorang pakar teroris, pencuci otak teroris. Apa kami mau dicuci otak atau bagaimana ini?"

Saya tersentak. Panitia gelagapan. Moderator pun menengahi, “Baik Pak, biar Pak Mardigu menjelaskan, ya."

Saya pun menceritakan sedikit hubungan saya dengan kepolisian dan militer, lalu saya ceritakan sedikit tentang pikiran atau mindset. Namun, ada beberapa peserta yang rupanya tetap tidak puas. Mereka mendesak agar sesi acara saya di-skip, dilewati. Karena, poin yang mereka harapkan adalah pengalaman dan praktik, tidak mau wacana-wacana atau pelajaran teori-teori. Menurut mereka kalau itu tidak aplikatif, buat apa?

Kata mereka, kalau Mardigu ini seorang business coach, harap dibuktikan perusahaan apa yang dimiliki dan apa prestasinya. Kalo hanya mindset sebagai wacana saja, ya ubah judul sesi ini menjadi "Apa Itu Mindset untuk Bisnis". Itu pun bisa sebagai selingan yang tidak penting.

Rasanya rontok seluruh tulang saya mendengar komentar-komentar tersebut. Saya tidak sempat banyak membela diri atau memberi pertahanan, tetapi buat apa saya bertahan kalau bombardir pertanyaan dan pernyataan tersebut sepertinya memang bukan mengharapkan solusi.

Sesi pun tetap dilanjutkan, tetapi berdasarkan kesepakatan, akhirnya dibuat ringkas. Saya lakukan, tetap dengan semangat. Ini bukan kiamat, pikir saya, ini cambuk positif. Ini mungkin batu asahan terkeras yang akan membuat pisau saya lebih tajam.

Bagi saya, moral story atau hikmah yang saya dapat adalah, tidak semua orang suka dengan saya; tidak semua orang kenal dengan saya; tidak semua orang kenal dengan produk saya; dan tidak semua orang nyaman dengan keberpihakan saya. Tapi itulah hidup, c’est la vie.

Jujur, saya gemetar dan gentar di seminar tersebut. Di balik senyum dan perkataan saya kala itu, saya sedang mengalami masalah keuangan yang cukup besar. Cerita ringkasnya seakan sekelebat lewat dengan cepat dalam pikiran saya saat mengingat kembali kejadian yang sedang saya alami.

Ayah saya berpulang ke rahmatullah di tahun 2007. Waktu itu kami kurang tahu bahwa ternyata ayah kami menjaminkan rumah satu-satunya tempat ia tinggal ke bank untuk sebuah proyek. Proyek ini dia lakukan berdua dengan mitra dagangnya, seseorang berwarga kenegaraan Singapura, namanya Julian Yeoh.

Dan, yang mengagetkan adalah, mitranya itu kabur tak bertanggung jawab, membawa uang investasi tersebut. Awalnya kami tidak terlalu tahu, tetapi ketika petugas bank bolak-balik ke rumah menanyakan kewajiban cicilan yang sudah 9 bulan tidak dibayar, saya sangat terkejut.

Saya pun menghadap kepada bank tersebut dan mereka membuka informasi semuanya. Saya sangat kaget karena kalau dinilai secara keuangan pada saat itu, ibu saya yang tinggal di rumah itu tidak memiliki harta apa pun. Nol, bunga plus pinjamannya senilai rumah.

Mengetahui kondisi tersebut, tentu saja saya tidak mungkin menceritakan hal itu kepada ibu. Belum setahun kehilangan pasangan hidupnya selama 42 tahun, ibu saya akan kehilangan harta satu-satunya, rumah tinggalnya. Pasti dia tidak siap. Dan, saya merasa itu tidak benar karena dia tidak berhak untuk menderita atas perbuatan yang tidak dia perbuat.

Akhirnya informasi ini saya simpan. Biar saya yang tanggung. Pilihan saya yang pertama adalah mencari Julian untuk meminta pertanggungjawabannya. Namun, orang ini hilang ditelan bumi.

Langkah berikutnya adalah negosiasi dengan bank dan mengambil alih tanggung jawab tersebut. Pokoknya, saya harus berusaha keras agar rumah jangan sampai dilelang atau disita bank.

Dengan seribu cara, saya merayu dan meyakinkan bank untuk mendapat "hair cut" dan bunga tersebut. Pokoknya, bank tidak rugi. Dari pokok awal, saya mengatakan sanggup mencicil hingga 10 tahun ke depan agar bisa lunas.

Alhamdulillah, bank mau. Tinggal saya bekerja keras dan minta pengertian dari istri serta anak-anak. Ternyata istri saya mendukung, walaupun dengan 3 anak—kala itu istri sedang hamil anak terakhir kami. Mengapa saya minta izin mereka? Karena, cicilannya sebesar 2/3 dari pendapatan bulanan kami kala itu.

Kami harus gulung tangan tinggi-tinggi. Setelah semua itu berjalan selama kira-kira 1 tahun, suatu hari ibu kami tercinta mengatakan bahwa ia ingin pindah ke kampung halaman di Jawa Timur. Ia ingin menjual rumah sebagai modal beli lahan untuk berkebun dan sedikit uang untuk hidup. Kata-kata ini bagai petir menggelegar.

Memang, sudah hak ibu saya untuk melakukan itu, tetapi kalau dijual saat itu, hampir semua uangnya akan diambil bank. Artinya, ibu saya hanya dapat sekitar 10%-nya. Dilema saya waktu itu, apakah ibu saya harus diberi tahu kejadiannya, atau saya telan dan tanggung sendiri?

Saya pun melakukan hal yang tidak Iazim. Saya memilih tidak memberi informasi apa pun kepada Ibu. Lebih baik saya menjual aset, rumah, tempat usaha, dan mobil untuk menebus bank. Lalu, kami bisa mengambil sertifikat dan memberikannya ke ibu agar ibu bisa menjualnya.

Malam itu juga seperti biasa saya berdoa, mohon kepada Allah SWT agar Dia berkenan atas keputusan saya ini. Lalu saya kumpulkan anak dan istri. Saya ceritakan semuanya dan apa yang akan saya lakukan.

"Kita akan menjual rumah tempat tinggal kita, ruko di Jatibening, kantor pusat Rumah Yatim Indonesia, dan seluruh kendaraan kita. Kita akan cari rumah kontrakan sebagai pengganti rumah yang kita jual," urai saya.

Saya menunggu jawaban istri dan anak-anak. Ternyata istri saya berkata, 'Ayah, kalau buat bakti Ayah kepada orangtua, kami tidak akan berkomentar apa-apa. Dan pastinya, Yah, apa yang Ayah usahakan ini walau habis-habisan, tetap saja air susu ibu belum terbayar. Selama Ayah ikhIas, aku setuju Yah."

Anak-anak saya juga setuju, "Boleh Yah, jual saja demi Eyang. Perjuangan Ayah pasti berat. Kami percaya, kok."

Saya menunduk meneteskan air mata, kemudian saya pun mengangguk, "Terima kasih, Bunda. terima kasih, anak-anakku. Ayah janji akan membuktikan kepada kalian, Ayah kalian ini terbuat dari apa."

Akhirnya kami pun menjual rumah, ruko, dan 4 mobil. Semua kami lakukan segera agar bisa langsung menebus rumah ke bank. Dalam 1 minggu, sertifikat asli sudah di tangan ibunda tercinta yang menyambut dengan senyum. "Ibu pulang kampung ya, Mas. Ibu mau berkebun. Boleh, ya?" pamitnya.

Kami hanya mengangguk. Melihat Ibu tersenyum, hati kami pun sumringah, enteng, dan lega. Dan, seperti dugaan kami sebelumnya, rumah tersebut cepat terjual dan ibu pun pindah kota dari Jakarta ke Malang, Jawa Timur.

Malam sebelum acara, saya membuka pintu kamar anak-anak di kamar sebelah, di rumah kontrakan yang kecil dan sempit. Ketiga anak kami sedang meringkuk tidur beralaskan bedcover dan selimut. Kami tidak memiliki tempat tidur buat mereka. Tempat tidur hanya satu untuk dede kecil yang baru Iahir di kamar sebelahnya, di mana kami bertiga berhimpit-himpitan. Saya selimuti ketiga anak kami itu, kemudian saya kecup mereka yang sedang tertidur lelap.

Kembali ke cerita seminar "Eksis di Tengah Krisis". Banyak peserta yang meminta saya menyejajarkan keilmuan dengan fakta. Sesi 'Millionaire Mindset' tentu harus diisi oleh seorang miliuner, sementara keadaan saya saat itu sedang mengayun turun.

Namun, saya sama sekali tidak kesal dengan mereka yang menyerang. Saya tidak menyesali semua kejadian tersebut, hanya saja semoga semuanya mendapat hikmah tersembunyi karena kehidupan ini penuh teka-teki misteri, menarik, dan indah.

***

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter