Harga Sebuah Kesuksesan

[21] Harga Sebuah Kesuksesan Bossman Mardigu Wowiek - Sadar Kaya

Dalam sebuah kunjungan kerja di negara tetangga, Singapura, saya mendapatkan sebuah tiket menonton balet. Bagi saya, menyaksikan sebuah pertunjukan kesenian seperti opera maupun balet bukan merupakan kenikmatan ataupun kebanggaan. Saya bukan orang yang terlalu menyukai seni dan mengerti kesenian.

Namun, saya suka keindahan, kerapian, dan kebersihan. Dan, bagi banyak sahabat, ketiga hal itu merupakan bagian dari kesenian. Begitulah para filsuf yang selalu pandai mengolah kata menjadi pemahaman baru, padahal menurut saya beda juga maknanya.

Apakah saya akan menonton pertunjukan balet klasik Swan Lake itu? Di tengah padatnya jadwal pertemuan dan di tengah diskusi panjang bisnis, sebenarnya hampir tidak ada waktu untuk menikmati pertunjukan balet tersebut. Di sisi lain, undangan itu datang dari mitra bisnis dan kami sedang dalam proses membahas bisnis jangka panjang tersebut.

Undangan itu datang pimpinan tertinggi sebuah perusahaan minyak yang sangat dihormati di dunia. Kalau dalam catatan billionaire index di Forbes, perusahaan tersebut masuk 100 besar dunia.

Posisi itu membuat saya mengharuskan diri mengikuti acara balet tersebut, yang sejujurnya saya tidak paham sama sekali.

Saya ingat, saya memerlukan hampir 1 jam merenungi pentingnya untuk hadir dibanding persiapan meeting pagi. Saya baru kembali ke kamar hotel pukul 17, lalu segera ke Esplanade Singapura pukul 19 untuk menyaksikan acara yang dimulai pukul 19:30, dengan mengenakan dress code Iengkap, jas hitam dan dasi kupu-kupu.

Waduh, urusan dasi kupu-kupu ini memang ribet. Beda banget pakai dasi kupu-kupu clip on yang sudah jadi dengan dasi yang masih Iembaran dan harus menyimpul kupu-kupu sendiri.

Bisa habis 15 menit hanya untuk membuat dasi tersebut tampak seimbang dan pas dilihatnya. Pasalnya ya itu tadi, saya tidak terbiasa dan tidak suka.

Satu hal dalam perenungan untuk menghormati undangan tersebut adalah, menyetel hati. Nggak paham, nggak nyaman, tetapi saya harus menyaksikan penampilan balet yang diawali gala dinner pertunjukan akbar tersebut. Saya tahu, harga tiketnya mahal, dan lagi posisi duduk saya di balkon nomor dua dari balkon utama.

Ada 6 balkon utama di Esplanade. Yang satu terisi BOD (Board of Director) mitra bisnis kami dan gosipnya yang 5 lagi terisi dengan PM Singapura waktu itu, Goh Chok Tong. serta keluarga mantan PM Singapura pertama yang tentu semua orang tahu, Lee Kuan Yew.

Namun, yang namanya nggak nyaman, saya tetap perlu berusaha untuk menyemangati diri sendiri. Pikiran saya pun melompat ke masa kuliah dulu. Dari 144 SKS—atau unit kalau di Amerika—ada 24 unit yang di luar bidang utama kita.

Misalnya begini, ada seorang mahasiswa teknik jurusan mesin. Untuk Iulus sebagai bachelor of mechanical engineering, dia perlu 120 unit dari mata kuliah wajib dan 24 unit dari mata kuliah GE (general education) atau pelajaran yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan teknik. Mereka harus mengambil kelas badminton, sejarah, astronomi, antropologi, dan semua kelas dasar atau basic 101. Dan itu bebas, tidak ada pakemnya.

Saya terheran-heran di awalnya dengan keharusan ini, tetapi dekan saya mengatakan, "Tujuan Anda mempelajari ilmu, selain ilmu wajib tadi, adalah untuk keseimbangan hati. Agar menjadi balance.

"Karena, sebagai engineer yang analitis, teknis, dan kaku, Anda bisa memahami sosiologi daerah tertentu atau sejarah sebuah negara, misalnya. Ini membuat Anda bisa melihat dunia dan sisi lainnya, the other side of the coin, sehingga Anda akan lebih bijaksana dengan kemampuan melihat sisi pandang orang lain."

Karena saran tersebut, saya pun mengambil kelas classic jazz 3 unit, sejarah dunia, arkeologi yang berurusan dengan dinosaurus, serta kelas gastronomi atau ilmu tentang makanan.

Itu semua jauh dan dasar keilmuan saya di sekolah sebagai master criminal mind and forensic investigator. Benar-benar tidak nyambung. Namun, saat itu saya jadi bisa melihat dunia meskipun hanya dari kelas kecil saya. Saya bisa melihat the otherside of the coin.

Berdasarkan ingatan tersebut, saya pun memutuskan, saya akan melihat sisi lain kehidupan. Saya akan menonton pertunjukan balet tersebut. Saya kuatkan hati. Saya bulatkan tekad. Saya pun tiba di Esplanade tepat waktu.

Sebagaimana kebiasaan pertunjukan red carpet seperti ini, acara diawali dengan makanan mewah berlimpah dan ramah tamah sesama penonton yang merupakan high society di Singapura dan banyak ekspatriat.

Saya mengambil sisi menyendiri sambil membaca buku isi jalannya pertunjukan dan membaca nama-nama balerina yang akan manggung.

Perilaku saya yang mengambil posisi aman sebagai pengamat di ujung adalah perilaku dari para kaum introvert, yang kalau tidak nyaman, ya memilih untuk mojok sendiri.

Ada dua nama yang menarik perhatian saya. Pertama, nama penyanyi opera tenar Lea Salonga sebagai bintang tamu. Kebetulan dia termasuk idola saya sehingga saya pun merasa excited dan sedikit Iebih nyaman. Kedua, nama seorang balerina Indonesia di daftar penari utama.

Saya tidak tahu apakah ini orang yang sama, tetapi 20 yang Ialu saya pernah punya teman dengan nama itu. Dia ke New York untuk mengambil sekolah tari dan saya tidak pernah bertemu lagi sejak itu.

Saya masih ingat sosoknya yang dulu cantik, tinggi, dan anggun. Itu 20 tahun yang Ialu. Tapi saat ini, saya nggak ada bayangan sama sekali.

Kemudian terdengarlah pengumuman bahwa pertunjukan akan segera dimulai. Kami semua menuju tempat masing-masing. Saya sudah memotivasi diri saya sehingga isi kepala saya hanya prasangka baik dan saya akan enjoy the moment, enjoy the present.

Singkat cerita, pertunjukan 2 jam tersebut mendapatkan standing ovation, Iuar biasa. Saya yang kurang paham saja dapat mengikuti jalannya pertunjukan indah tersebut, dan melongo kagum, apalagi mereka yang paham dan mencintai pertunjukan balet klasik.

Saya lihat banyak penonton sampai menitikkan air mata haru. Tepuk tangan meriah dan wajah sumringah penonton jelas terlihat ketika lampu panggung menyala terang menutup acara.

Mata saya tertuju ke balerina Indonesia tadi, dan benar saja, dia teman saya. Di penghujung acara, seluruh penari berbaris membungkuk menghormati penonton yang memberikan penghormatan balik dengan bertepuk tangan sambil berdiri.

Sebuah kesantunan yang indah bagi saya. Saya terus menatap teman saya itu, yang masih cantik dan anggun. Beberapa gerakannya di pertunjukan tadi mengundang decak kagum banyak penonton, indah sekali.

Saya bertanya-tanya dalam pikiran saya, apakah dia masih kenal saya? Entah mengapa saya memilih untuk mencari tahu.

Ketika semua penonton berbalik arah keluar, saya menuju ke panggung yang gordennya mulai tertutup. Tepat dekat panggung, ketika tirai hampir tertutup, teman saya yang berada di barisan agak samping itu berbalik badan.

Saya rasa mata kami sudah saling bertatapan. Saya baru saja hendak menyapa dan melambaikan tangan, tetapi dia terus berjalan sambil berjinjit, seperti kebiasaan para Balerina.

Tak disangka, beberapa saat kemudian dia membalikkan badan dan kembali menatap saya yang berdiri tepat di sisi panggung. Pupilnya kontan membesar. Artinya dia ngeh dan masih mengenal saya. Saya pun tersenyum sambil melambaikan tangan. Dia membalas dengan melambaikan kedua tangannya ke depan.

"Mas Wowiek, ya?" tanyanya. Aslinya saya tidak mendengar suaranya, tetapi gerakan bibirnya membuat saya mengangguk. Saya pun mengedikkan kepala ke kiri, memberi syarat agar dia menemui saya di sebelah kiri panggung. Akhirnya dia berpisah dari para penari lainnya dan menemui saya.

Di sisi belakang panggung, dua kenalan lama bertemu kembali. Pelukan persahabatan 20 tahun tidak bertemu mengawali perjumpaan singkat tersebut. Saya pun tidak bisa menghentikan lidah saya untuk tidak memuji dirinya.

"Pertunjukan tadi luar biasa, dan kamu masih seperti dulu, masih seperti 19 tahun, " kata saya, yang dijawab dengan rona merah di pipi dan tonjokan kecil ke tangan saya. Itu respons seseorang yang geer, tentunya.

Saya dimintanya duduk di tempat tumpukan properti panggung. Mulutnya mencerocos bertanya tentang apa yang terjadi selama 20 tahun ini. Saya pun menceritakan singkat jalan hidup saya dan dia menceritakan sekilas kehidupannya sambil melepas sepatu baletnya.

Mata saya pun menatap tajam telapak kakinya. Saya sangat terkejut melihat bilur Iebam kakinya. Dia seorang penari balet yang hebat, cantik, anggun, dan indah gerakannya. Namun, kakinya penuh dengan banyak bekas Iuka, yang tidak terlihat saat dia menari dengan indahnya.

Dia pun menatap saya dan bertanya, "Kenapa Mas?"

"Kaki kamu. ..?" tanya saya menggantung.

"Inilah harga sebuah keindahan, Mas. Bukannya kehidupan pun begitu?" katanya sambil tersenyum

Kalimat tadi menghentikan jalan pikiran saya, membuat saya membayangkan bahwa ternyata setiap penari, pelukis, pemimpin, orang sukses, usahawan, inovator, bintang film hebat, olahragawan top, semuanya pasti memiliki kesakitan, kesedihan, kepedihan, dan bekas luka yang hebat. Itu semua tidak terlihat saat kita hanya melihat suksesnya saja. Padahal, semua kesuksesan memiliki harga yang harus dibayar.

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter