Lepaskan Beban yang Tak Perlu

[4] Lepaskan Beban yang Tak Perlu Bossman Mardigu Wowiek - Sadar Kaya

Suatu hari, Yudi—mitra bisnis saya di money changer—menelepon. "Bro, sori nih. Kita bisa ketemuan, nggak?" katanya dengan suaranya bergetar. Saya kenal sekali suara seseorang yang lagi panik.

Saya pun mengiyakan, walaupun itu hari Minggu dan masih suasana libur Lebaran. Singkat kata, Yudi hadir di depan saya dan terlihat bingung. Setelah mengatur napasnya yang terburu-buru, akhirnya dia memberanikan diri untuk mulai bicara.

"Begini Wiek, saya kemarin transaksi doIar di bank sebanyak 100.000, dan ternyata kita ditipu. Duit tersebut dibawa kabur," urainya pelan-pelan. Saya terhenyak kaget mendapatkan berita itu. Namun, saya berusaha tetap tenang dan membiarkan dia melanjutkan ceritanya.

"Kejadiannya bagaimana?" tanya saya meminta penjelasan.

"Begini, ada seseorang menelepon saya meminta 100.000 doIar. Harga di suasana Lebaran kan, nggak jelas. Jadi saya kasih harga tinggi. Dia setuju. Ini untung besar buat kita. Lalu kami janjian di bank, di daerah Pondok Indah. Kebetulan ada 2 bank asing bersebelahan. Dia bilang rupiahnya ada di bank satunya, dan yang doIar akan dia masukkan di bank sebelahnya.

"Lalu, dia meminta uang doIar yang saya bawa untuk dihitung. Setelah dihitung benar 100.000, dia meminta temannya untuk jalan menemani saya ke bank sebelah untuk mengambil rupiahnya. Entah bagaimana, saya memang bodoh, uang doIar sudah saya berikan ke dia. Lalu ketika saya hendak mengambil rupiah, tahu-tahu temannya kabur. Saya berusaha mengejar tapi saya teringat bahwa dia nggak pegang apa-apa. Yang pegang dolar, ya orang di bank satunya," kisahnya sambil menenangkan detak jantungnya yang galau.

Saya tak banyak berpikir, yang saya fokuskan hanya bagaimana uang tersebut bisa kembali. Yang saya minta tentu saja pertanggungjawabannya.

Dia berkata, "Saya bertanggung jawab. Saya akan cari sana sini dan kalau nggak bisa juga, saya pinjam orangtua saya." Kata-kata tersebut cukup membuat saya tenang. Saya tahu ayahnya memiliki kemampuan untuk angka segitu.

Namun, di kepala saya, terbersit kemungkinan yang berat saya Iaksanakan. Masalahnya itu bukan uang saya. Dari perputaran uang tersebut, ada Iebih 60 orang yang memercayai uangnya untuk saya kelola. Jadi saya rasa, kehilangan uang tersebut harus saya laporkan.

Tapi, apakah kira-kira Yudi bisa membayarkannya dengan segera tanpa perlu saya laporkan kejadian ini? Saya optimis, semua bisa selesai dengan cepat. Saya yakin Yudi berkomitmen dengan kata-katanya.

Faktanya, setelah itu Yudi hilang ditelan bumi. Dia pergi tak bertanggung jawab, menghilang. Kata orang, dia ke Palu, SuIawesi Tengah. Tanpa pesan. Tinggallah saya menahan kemarahan tak terhindarkan. Saya harus menghadapi para pemilik modal dan pastinya saya harus bertanggung jawab mengembalikan uang mereka.

Hal ini membuat hati saya terluka, kesal, kecewa, dan marah. Bukan saya yang berbuat, tetapi saya yang harus menanggungnya. Belum lagi, ini hanyalah satu di antara puluhan peristiwa yang membuat saya jatuh bangkrut pada tahun itu.

Ketika saya teringat Yudi, saya murka dan kecewa. Ke mana mencari orang begini. Dan, kalaupun dia datang tapi nggak mau bayar atau tak bertanggung jawab, saya tidak bisa apa-apa.

Dalam renungan, saya meIewati hari-hari di rumah. Saya teringat kembali Yudi dan saya kembali marah. Namun, ada pelajaran yang saya dapat di salah satu workshop.

Katanya, jika saya masih memendam marah kepada seseorang atau sesuatu, saya akan kena looping memutar di tempat dan tidak akan keluar sampai saya melepaskan hal tersebut dari dalam pikiran.

Benar, saya harus meIepaskan kernelut dari pikiran. Tapi bagaimana saya melepaskannya, kalau ingat namanya saja saya murka? Pelajaran tentang prosperity consciousness sangat jelas, tidak boleh ada hal yang negatif atau berlawanan dengan kemakmuran karena hal itu membuat conflict of interest di pikiran. Otak manusia hanya bisa memikirkan satu hal, jadi jika ada yang lain, akan mengantre di belakang pikiran yang sedang difokuskan.

Bagaimana uang bisa datang kalau yang di depan adalah kemarahan terhadap Yudi?

Kalau mengikuti materi prosperity consciousness, saya harus memaafkan Yudi. Ya, memaafkan, mencintai, dan mendoakan dirinya sukses selalu. Ini pelajaran gila menurut saya. Saya harus mengasihi sampai benar-benar tulus.

Ego saya mengatakan bahwa saya tidak akan pernah bisa memaafkan pengecut ini. Tapi di sisi lain, batin saya mengatakan, saya ingin hidup damai dan penuh kemudahan.

Untungnya saya bukan orang yang rumit. Untungnya saya bukan orang yang senang susah. Lebih baik saya berdamai dengan diri sendiri. Poinnya begini.

Bayangkan saya di hadapan Anda, Ialu saya minta Anda mengangkat kedua tangan dengan kedua telapak menengadah ke atas.

Di tangan saya, ada satu buah bolpen dan satu ponsel.

Bolpen saya letakkan di tangan kiri Anda, dan ponsel saya letakkan di tangan kanan Anda. Saya akan bertanya, mana yang Iebih berat?

Anda pasti akan berkata, ponsel di tangan kanan lebih berat.

Lalu, saya angkat ponsel tersebut dan bolpen masih di telapak tangan kiri Anda. Lalu saya bertanya, bolpen ini Iebih ringan dari ponsel, kan? Pasti Anda jawab, benar.

Lalu saya akan bertanya, bagaimana jika bolpen di tangan kiri itu Anda pegang selama lima jam ke depan. Apakah bisa?

Tentu Anda akan bilang, BERAT menahan bolpen selama lima jam di tangan.

Pertanyaan saya adalah, yang berat itu bolpennya atau lama-nya? Anda pasti akan menjawab, LAMANYA. Nah, inilah yang saya maksud dengan masalah saya tadi. Jika saya menggenggam terus kemarahan dengan Yudi maka semakin diulang, semakin memberatkan.

Saat itu juga saya memutuskan untuk menjalankan apa yang saya pelajari, yaitu forgiving others. Saya memutuskan untuk mencintai Yudi, tulus dan utuh. Saya bawa dalam doa, setiap saat saya teringat akan dirinya atau peristiwa itu.

Saya lupa berapa lama saya melakukan itu, yang saya ingat hingga saat ini ternyata saya benar-benar tulus mendoakan dirinya, dan saya sudah mengikhlaskan semuanya.

Suatu hari, ada telepon di ujung jauh. Ternyata Yudi menghubungi saya. Dia meminta saya menyempatkan waktu bertemu ayahnya yang sedang sekarat di rumah sakit di bilangan Cempaka Putih, Jakarta.

Mendengar keseriusan suaranya, saya pun setuju untuk mengunjungi ayahnya yang kala itu di ICU. Saya kenal ayahnya, dan saya heran ayahnya meminta saya datang. Yudi menjemput saya, dan diawali dengan basa-basi singkat, kami pun menuju rumah sakit.

Dalam perjalanan, Yudi cerita bahwa ayahnya bertanya apakah Yudi punya masalah. Yudi pun menceritakan peristiwa tertipunya usaha money changer itu, yang kemudian dia kabur.

Ternyata ayahnya berkata kepada Yudi, "Kalau kamu tidak melunasi kewajiban tersebut, kamu tidak saya anggap anak."

Demikian ayahnya berkata dalam sakitnya di lCU. Oleh karena itu, Yudi memutuskan untuk membawa saya menghadap ayahnya malam itu.

Saya datang di hadapan ayahnya, yang hanya bisa dihadiri orang terbatas. Saya berdiri tepat di samping sang ayah. Saya dengar Yudi berkata lirih, "Pah, saya janji akan meIunasi utang saya kepada Wowiek. Ini Wowiek sudah hadir di samping Papah. Mohon maafin saya, Pah."

Kemudian dia berpaling ke saya, "Maafin saya Wiek, saya janji akan meIunasi semuanya."

Suaranya yang terbata-bata dan perlahan itu ternyata bisa membuat sang ayah terbangun. Wajahnya tersenyum tulus. Dipegangnya kepala Yudi, dan dia mengangguk pelan, "Iya, anakku... Iya...," katanya.

Lalu dia mengangkat wajahnya ke atas dan berkata, 'Allahu akbar," dan menghembuskan nafas terakhirnya di hadapan saya dan Yudi. Saya lemas, Yudi tersungkur, dan tak lama kemudian seluruh tim medis dan keluarga mengambil alih suasana.

Saya menatap Yudi yang terdiam dan kemudian hanya tertunduk. Inikah kekuatan meIepas, release power?

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter