Jangan Membatalkan Doa

[3] Jangan Membatalkan Doa Bossman Mardigu Wowiek - Sadar Kaya

Setelah mengikuti Millionaire Mindset Training di Australia itu, saya juga melanglang buana ke Kota Gowa di India; Hongkong; Kota Kinabalu, Malaysia; dan Selandia Baru, dengan Sandy MacGregor dan School of Mind, Sydney, Australia. Semuanya saya bayar dengan modal terakhir. Setelah menjual seluruh harta yang tersisa tapi masih kurang, saya pun mencari pinjaman sana-sini.

Kalau ditotal, ini adalah ratusan jam workshop dalam kelas. Semua itu tidak sekaligus. Dalam 1 tahun saya berangkat, rata-rata 7 hari workshop-nya. Tapi bahkan setelah itu pun, ternyata belum ada yang "klik" dalam diri saya. Saya masih sama, masih loser, masih pecundang. Tapi saya tak ingin kecil hati.

Dulu saya pecundang tak berilmu, setidaknya kini saya pecundang dengan sedikit ilmu. Jujur, setelah mengumpulkan semua pelajaran tersebut, saya tak bisa serta-merta mulai mempraktekkannya. Belief system saya tertabrak-tabrak.

Nasib, kata mereka, kita yang menentukan? Sementara saya punya keyakinan, nasib ditentukan Tuhan. Tabrakan pemahaman ini belum bisa saya terima.

Tapi kalau saya tidak terima itu, artinya saya harus menerima kondisi saat itu—berutang dan hidup susah. Dan kalaupun saya kembali memulai sesuatu, akan terbawa putaran sama.

Saya sadar bahwa untuk memulai yang baru, saya harus mengubah belief system saya. Dalam sebuah sesi di Millionaire Mindset, ada pelajaran tentang meng-cancel atau membatalkan doa. Jadi, ada pelajaran tentang berpikir dan berdoa yang tidak boleh di-cancel.

Contohnya, waktu itu saya diperintahkan untuk memohon agar diberikan 1 milyar rupiah pada akhir bulan ini. Saya manut. "Ya Allah, saya minta 1 milyar di rekening saya akhir bulan ini." ucap lidah saya.

Tapi meskipun lidah saya berucap seperti itu, hati kecil saya berkata lain. Apakah mungkin? Dan mana uangnya? Bagaimana caranya? Nah, rupanya keraguan-keraguan batin seperti itu bisa dikatakan seolah meng-cancel doa.

Dalam membuat sebuah permohonan, tidak boleh di-cancel. Kita harus percaya utuh. Untuk setiap keraguan yang timbul di benak kita, artinya doa kita sudah terbatalkan dengan sendirinya. Untuk itu kita perlu panjatkan lagi permohonannya, diulang lagi. Begitu seterusnya.

Ribuan kali saya coba, ribuan kali pula saya cancel. Belief system saya belum bisa terima. Masak sih? Kok, begitu doang? Memang bisa? Dari mana caranya? Demikian keraguan dalam benak saya.

Dulu saya pernah bekerja untuk menutupi biaya hidup dan sebagian cicilan utang. Posisi saya sebagai direktur business advisor dari sebuah investment banking ternama, PT Refund Financindo (sekarang bernama PT Recapital) di Jakarta. Kompensasi bulanannya cukup besar, tetapi saya hanya kerja kontrak di situ selama 24 bulan, dari tahun 2000-2002.

Suatu hari, di tahun 2001, sembilan bulan sebelum kontrak saya berakhir, saya sedang bersiap-siap untuk berangkat ke kantor. Saya pun meminta Fathur, anak kedua saya yang
Saat itu berusia 4 tahun, untuk mengambilkan sepatu.

"Mas, tolong ambilkan sepatu Ayah yang hitam, " pinta saya.

Fathur hanya terdiam.

Saya ulangi sekali lagi. "Fathur, kamu dengar kan, Ayah suruh apa?"

Dia tetap diam dan bahkan berjalan menjauh.

Saya pun memanggilnya dengan suara dan intonasi yang meninggi, tetapi dia hanya menunduk.

Emosi saya terpancing. Batin saya, ‘Ini anak kok nggak nurut, sih?!’

Saya pun berjalan ke arahnya dengan langkah Iebar. Wajah saya memancarkan amarah. Kemudian matanya menatap saya. tepat di mata saya. Agak ketakutan ekspresinya

Saya kaget. 'Kok, dia takut?' batin saya.

Langsung saya berlutut mensejajarkan matanya dengan mata saya. Setahu saya ini metode dasar psikologi mendidik anak, yaitu mata yang sejajar menunjukkan kesetaraan dan kesederajatan. Kalau posisi mata anak di bawah, sedangkan posisi mata orang tua di atas, ini menimbulkan sugesti bahwa posisi orang tua menjadi otoritatif dan si anak inferior.

Pada saat itu, saya sadar bahwa posisi saya sedang marah dan posisi Fathur sedang ketakutan. Saya tahu itu tidak sehat. Maka saya pun menyejajarkan wajah saya dengan wajahnya sehingga dia nyaman karena merasa sederajat.

Saya ubah ekspresi saya. Saya datarkan suara saya. “Tolong ambilkan sepatu Ayah, Sayang?" pinta saya lembut.

Tiba-tiba kaki saya dipeluknya. Dari bahasa tubuhnya saat itu, saya menangkap bahwa dia tidak mengizinkan saya berangkat bekerja kembali saya terhenyak. Tadinya mau marah, tetapi sinyal yang diberikannya cukup kuat. Seakan dia berkata, 'Jangan pergi, Yah! Ayah belum memberikan banyak rekening emosi ke Fathur.'

Ya, rekening emosi saya memang kurang kepada Fathur. Lama saya menatap wajahnya. Tiba-tiba saya putuskan, "Oke, Ayah nggak bekerja hari ini. Kamu mau apa, Sayang?"

"Ajarin Mas Fathur naik sepeda roda dua, Yah... terus main layangan. Boleh?" pintanya dengan kepala memiring dan mata memelas. Melihat ekspresinya yang menggemaskan ini, saya pun mengangguk.

Saya telepon Yola, sekretaris saya saat itu. "Tolong bilang ke Pak Rosan, saya nggak masuk hari ini, off dulu," kata saya.

Seharian saya ajari Fathur naik sepeda roda dua. Sorenya kami bermain layangan. Saya rasa itu 7 jam yang sangat padat dan paling berkualitas. Malamnya, dia memijat-mijat sebagian tubuh saya. Nikmat sekali rasa di hati. Tiada tara rasanya.

Ah... enak ya, berkumpul dengan orang yang kita cintai dan meIakukan hal yang kita sukai, mendapatkan uang tak terhingga,’ kata saya dalam hati.

Saat itu juga, seperti ada bunyi klik di otak saya.

Mendadak saya seperti mendengar suara sendiri. Katanya ingin punya anak saleh, kok ngaji diajari orang lain, belajar sepeda diajari orang lain, belajar baca tulis sama orang lain, bagaimana rekening emosi bisa tumbuh?

Bukannya dulu pernah bilang bahwa kalau bisa, setiap sel dari anak yang tumbuh, saya memiliki andil terbesar agar di kemudian hari tidak ada sesal?

Sementara faktanya, setiap hari sibuk. Pagi berangkat, anak belum bangun. Malam pulang, anak sudah tidur. Ketemu di kala weekend sudah keburu capek pengen istirahat. Tahu-tahu, anak tumbuh membesar dan membesar tanpa ada kontribusi apa pun dari saya. Saya terhenyak.

Lalu saya putuskan seketika itu juga tanpa pikir panjang. Cikar kanan, vaya con dios! Kita bakar kapal! Saya mengambil istilah ini untuk mengandaikan tindakan seorang panglima perang, Jabbal Tariq, sewaktu menaklukkan Gibraltar. Pasukannya kalah jumlah dan nyali ciut mau mundur. Jabbal Tariq memerintahkan bakar kapal sehingga pasukannya tidak ada pilihan kecuali maju berperang.

Keesokan harinya, saya membuat surat resign. Tertuju pada partner saya yang sekaligus owner perusahaan tersebut, Rosan Roslani. Saya mendadak percaya 100% bahwa uang akan datang ke saya tanpa usaha banyak.

Dan, saya tidak pernah meng-cancel doa itu. Saya sepenuhnya memercayakan permohonan itu kepada Tuhan. Entah mengapa yang jelas saya percaya dan semangat sekali.

Hari berlalu tanpa ada yang istimewa. Herannya, orang modern seperti saya tidak banyak tanya-tanya. Enjoy total. Benar-benar seperti orang aneh. Nggak mikir, blass. Sore itu saya menyiram bunga, di luar dari kebiasaan. Sebelum itu saya tidak pernah siram bunga.

Tahu-tahu, sebuah motor menghampiri. Pengemudinya menggunakan helm berkaca gelap. Saya tidak tahu siapa dia.

"Sore, Bapak...," sapanya dengan logat khas timur Tanah Air, lalu ia membuka helm.

Ah... Ray Sahanaya, rupanya. Dia orang Ambon tetangga saya, yang tinggal berjarak tiga rumah di sebelah. Dia mengontrak di sana.

"Eh, eh... Begini Bapak, apa Bapak ada uang 10 juta di tangan?" tanyanya dengan logat Ambon yang kental.

"Maksudmu?" tanya saya. Saya harus memastikan pemahaman saya dulu, tentu saja.

"Begini Bapak, beta mau jual samua barang di rumah beta, Bapak. Beta jual 10 juta, Bapak. Termasuk motor baru ini, Bapak. TV, kulkas, AC, kontrakan rumah, samua Bapak ambil. Bolehkah?" tanyanya.

"Wah, Ray... jujur uangku hanya 6 juta. Ini pun buat bayar utang besok." jawab saya apa adanya.

Dia terdiam, Ialu berkata, "Beta dapat kerja kapal, Bapak. Malam ini kapal so angkat jangkar. Jam sambilan kita so balayar, Bapak. Beta dikontrak 3 tahun, Bapak. Gaji bagus 2.500 doIar sabulan, Bapak. Beta harus cepat-cepat balik pelabuhan, Bapak."

Dia terlihat berpikir sebentar dan kemudian berkata, "Ai… Baiklah, Bapak. Beta kasi Bapak samua. Bisa kasih 6 juta sekarangkah?"

“Ada," jawab saya. Saya masuk ke dalam, 1 menit kemudian saya keluar dan memberikan uang 6 juta kepada Ray. Dia senang sekali. Giginya yang putih berkilat tak pernah hilang dari bibirnya.

Ray pun menandatangani tanda terima, serta 3 Iembar kwitansi kosong untuk motor dan kunci kontrakan. Setelah itu dia pergi membawa tas dan berangkat naik ojek.

Saya terdiam. Memegang 2 kunci. 1 kunci rumah kontrakan, 1 kunci motor beserta surat-surat. Kemudian saya ke kontrakannya yang lebih Iuas sedikit dibanding rumah kontrakan saya. Cukup rapi untuk seorang bujangan. Barang-barangnya terawat.

Keesokan harinya, saya jual semuanya kecuali motor yang saya butuhkan untuk mengganti Honda Tiger saya, juga menutupi sebagian ongkos belajar ke beberapa tempat. Total saya memperoleh sisa uang 19 juta! Plus, rumah kontrakan yang masih 1 tahun lagi. Kebetulan saat itu kontrakan saya tinggal tersisa 2 bulan lagi.

Apa ini yang disebut prosperity consciousness?

Dengan uang 19 juta di tangan, rasanya saya ingin mengajak anak-anak main, walaupun hanya ke Ancol. Bukan main senangnya kedua anak itu. Di hari Minggu itu, kami sekeluarga berekreasi ke Taman Impian Jaya Ancol, mulai dari makan pagi di pantai, jalan-jalan ke Pasar Seni, Ialu ke Dufan sebagai puncak acaranya.

Ketika pukul 10 pagi tiba di Pasar Seni, ada hal yang menarik perhatian saya, yaitu sebuah Iukisan. Sebenarnya saya bukan penggemar, apalagi pengoleksi lukisan. Namun, Iukisan bergambar wajah manis gadis mungil duduk di halaman rumah menatap pantai itu, memberikan pemandangan yang menakjubkan, menurut saya.

Saya menatap lama Iukisan tersebut. Bunga di rambut, topi yang dikenakannya, semuanya menarik bagi saya. Sang penjual yang rupanya juga sang seniman pelukisnya pun menghampiri saya.

Saya bertanya, "Piro, Cak?" Saya tahu seniman itu orang Surabaya karena sedari tadi menggunakan bahasa Suroboyo-an ketika bicara dengan sesama seniman di sebelahnya.

"Telungyuto, Cak", jawabnya singkat.

Ah... telung yuto larang, Cak!" Tiga juta mahal, kata saya.
"Sak juta ae," tawar saya sejuta, sekenanya.

"Ngak iso, Cak," katanya, Ialu melengos membalik badan.

Saya pun pergi, jalan keluar untuk ke Dufan bersama anak-anak.

Setelah lelah bermain hingga pukul 5 sore, kami pun menuju kendaraan kami di parkiran. Ketika hendak naik mobil, terdengar suara memanggil dari kejauhan.

"Mas, Cak... Hoiii!"

Saya pun menengok. Rupanya sang seniman tadi yang memanggil, Ialu menghampiri saya dengan membawa gulungan kertas yang ternyata Iukisan tadi.

"Mas, ini. Jadi Mas... sak juta," katanya sambil tersenyum polos.

Karena sudah keburu janji, akhirnya saya setuju. "Lek sak juta tak tuko," kata saya—kalau satu juta saya bayar. Akhirnya saya ke ATM dan menarik uang untuk membayar Iukisan itu.

Esoknya, hari Senin, saya membuatkan bingkai untuk Iukisan itu di sebuah toko pigura di bilangan Duren Tiga, Jakarta Selatan. Dari sana saya dijanjikan Rabu pukul 9-an selesai, sudah bisa diambil.

Singkat cerita, Iusanya saya ambil pukul 10 dan saya bergegas pulang ke rumah saya di bilangan Bekasi Barat.

Setibanya di depan rumah, ada sebuah mobil terparkir dan saya tahu ini mobil sewaan teman istri saya. Dia pasti sedang mengambil baju pesanannya.

Dia adalah Freeda, seorang mahasiswi S3 dari Swedia, yang sedang mengambil disertasi tentang keragaman Islam di Nusantara Indonesia.

Saya kenal sekali dengan Freeda. Dia berusia 26 tahun, single, cantik, mata biru, rambut pirang seperti artis Hollywood. Kalau di sini bisa dibilang mirip Sophia Latjuba, mungkin. Berbadan mirip peragawati, pintar, santun, dan mengerti tata krama ketimuran.

Kalau dia ke rumah, yang mana istri saya punya usaha baju muslim dan bordiran, pastinya saya ikut nimbrung diskusi. Biasanya baru sebentar saja istri saya sudah sibuk mengusir saya untuk masuk ke kamar. Jangan lama-lama katanya. Tapi ada benarnya juga sih, memang Freeda cantik kok.

Freeda pernah mengeluh, beberapa kali dia ke pesantren tradisional, banyak ulama dan ustadz yang mengajaknya menikah. Dia bingung kenapa. Kalau melihat penampilannya, karena dia dari negara sub-tropis, kemudian datang ke negara tropis yang Iembab seperti lndonesia ini, busana yang dia kenakan memang agak terbuka. Mungkin supaya semilir angin masuk dan tubuhnya adem tidak kegerahan.

Iya, benar. Tubuh dia memang jadi adem. Tapi tubuh cowok seperti saya, ya kepanasan ekstra. Begitu juga para Ielaki yang lain, terlepas dari ilmu agama apa pun yang mereka miliki.

Karena itu, cara paling aman adalah dibuatkan baju longgar berbahan asli cotton (kapas) sehingga menyerap keringat dengan baik. Baju itulah yang dia pesan ke istri saya, Dan, hari itu pastinya dia sedang mengambil pesan tersebut.

Saya masuk ke dalam dan langsung saya pajang lukisan tersebut, tepat di depan pintu masuk. Jadi kaIau pintu terbuka, semua orang pasti melihat lukisan gadis kecil bertopi dan berbunga di rambutnya, menatap indahnya pemandangan dari serambi rumahnya.

Selagi saya memandangi lukisan tersebut, Freeda lewat bersama seorang perempuan yang agak berumur. Rupanya itu ibunya.

"Hi, this is my mom. Mom, this is Wowiek, the house owner." katanya.

Hehe, geer juga saya dibilang pemilik rumah, padahal cuma ngontrak.

Saya memerhatikan ibunya Freeda menatap lama lukisan tersebut dan berbalik bicara ke Freeda dengan bahasa yang tidak saya kenal—sepertinya bahasa Swedia.

Lalu Freeda bertanya, "Well, Wowiek... what is this?"

Saya bingung menjawabnya. Dengan pelan saya berkata, “A… painting?

"Well, I mean my mom asked me, where do you get this painting?" tanyanya lagi.

Saya pun menceritakan singkat kejadian saya di hari Minggu kemaren. Lalu ibunya kembali berdiskusi dengan Freeda hingga akhirnya dia bertanya, “Do you sell this painting?

"No, Ma’am. I love it. I just bought it," jawab saya.

Saya lihat ekspresi kecewa di wajah sang ibu, lalu mereka kembali berdiskusi.

Freeda berkata dengan tegas, “Wowiek, apparently my mom insists… if you sell it, she will pay you for ten thousand dollar.

Saya terhenyak, dan sebelum sempat saya jawab, istri saya menyikut perut saya dan bilang, “Sure, Ma’am, You can buy this painting.

Seketika si ibu langsung tersenyum sumringah. Dia pun mengambil segepok Iembaran uang 100 doIar dari dalam tasnya, Ialu menghitung dan menyerahkannya sambil berkata, "Here’s 10.000 dollar for you. Would you please wrap it and roll it into plastic pipe? I will take it as we come back from Jogja in a couple of days. You can do that, can't you?"

Demi uang sebesar itu, saya pun segera merespons, "Oh yes Ma’am. I will wrap it perfectly." Dalam hati saya bertanya-tanya, kenapa dia ngotot sekali ingin memiliki Iukisan ini. Akhirnya saya pun bertanya, "Anyway Ma’am. I was wondering, why do you like this painting so much?"

Sang ibu tersenyum, Ialu mencari-cari sesuatu dalam tasnya yang besar tersebut. Dari situ dia mengeluarkan sebuah dompet biru, kemudian dia menunjukkan sesuatu, sebuah foto usang dan tua. Begitu saya lihat foto tersebut, saya terkejut bukan main karena mirip sekali dengan gambar di lukisan itu. Ya, 95% mirip!

Saya heran sekali. Dengan tersenyum bangga dia berkata, "This is me, when I was 5 years old, in my old house in Barcelona before I moved to Swedia later on and got married with Freeda’s father."

Rupanya kemiripan Iukisan itu mengingatkan dirinya yang pernah tinggal di Barcelona, di atas beranda rumahnya, menatap pemandangan Iepas. Dengan bunga yang dipetiknya dan disematkan di antara rambut dan topinya.

Apakah ini hanya sebuah kebetulan, atau bukti lain dari prosperity consciousness?

***

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter