Millionaire Mindset

[2] Millionaire Mindset Bossman Mardigu Wowiek - Sadar Kaya

Dulu, kehidupan saya mengalami goncangan yang amat sangat. Itu bukan pertama kali. Melainkan kedua kalinya saya terpuruk. Tapi, yang kedua itu sangat dahsyat. Seluruh harta saya hilang dan utang saya juga bertumpuk.

Ketika itu saya memiliki beragam bisnis, tetapi dalam masa hampir bersamaan, "shit happened" alias kesialan beruntun terjadi di dalam kehidupan saya. Money changer saya kecurian hingga 2 kali dalam 3 bulan. Kapal barge saya yang bertransaksi dalam pengiriman ke Kelian Equatorial Mining di Balikpapan, karam dan asuransi tidak membayarnya.

Pabrik kapur hydrated lime saya yang masih berhutang ke bank, kena gempa di Cileungsi. Gempanya memang kecil, tetapi meretakkan tungku utama dengan harga yang mahal. Traktor di quarry kapur meluncur tak terkendali, menabrak silo di pabrik. Asuransi Juga tidak menggantinya.

Ditambah lagi bank pembiayaan kami PDFCl ditutup BPPN di tengah krisis keuangan berkepanjangan, harga bahan baku naik 200%, yaitu gas. Perusahaan saya pun terpaksa "file for bankruptcy

Semua musibah ini terjadi dalam kurun waktu kurang dari 2 tahun, yaitu pada 1999-2001. Kerugiannya tak tanggung-tanggung, mobil 4 habis, 1 rumah hilang, sedangkan utang masih 9 digit!

Setiap saat, setiap hari, emosi saya memuncak. Makan keluarga, bayar sewa, uang sekolah anak, membuat panik dan marah. Mau bekerja di mana? Kapan utang terbayar? Bagaimana untuk hidup?

Dikejar debt collector, dikejar hukum, dikejar BPPN, dan juga dikejar teman investor yang marah dan kecewa. Bayangkan betapa kusutnya situasi saya saat itu.

Di tengah keputusasaan, siang itu saya langsung memandang langit dan bicara langsung kepada Allah SWT, Tuhan yang saya percayai 100%. Saya katakan bahwa saya putus asa dan hidup saya sudah di ambang frustasi. Saya marah sekali kepada semuanya. Saya menuduh kehidupan ini tidak adil.

Saya merasa telah meIaksanakan seluruh ajaran agama. Saya teringat betapa tertibnya saya meIaksanakan puasa Senin Kamis selama 5 tahun, tak terputus. Setiap malam, saya selalu bangun untuk bertahajud. Yang wajib-wajib apalagi, sudah pasti saya laksanakan.

Hitungan zakat mal dan sedekah lainnya, saya bayarkan Iebih dari 2,5% aturan baku. Saya mendirikan panti asuhan dan mengelola 8 panti lainnya, menampung 400 anak yatim dalam kurun waktu 5 tahun. Itu semua saya Iaksanakan dengan tulus, dengan keindahan munajat.

Namun, ketika kebangkrutan beruntun selama 2 tahun tanpa jeda dan tanpa belas kasihan terjadi kepada saya, saya mempertanyakan, apa bukti ketaatan dengan kenyataan yang saya dapat?

Jujur saja, saya marah kepada Tuhan. Saya protes. Bahkan, sempat muncul keraguan dalam hati saya yang mempertanyakan keadilan Tuhan. Saya bertanya kepada-Nya, mengapa musibah ini menimpa saya?

Apalagi yang kurang dari saya sehingga saya pantas menerima ini semua? Mengapa rasanya hidup ini kejam dan sadis sekali? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar dalam kepala saya.

Akhirnya, saya mulai menjauh dari Tuhan. Jangankan yang sunah, yang wajib pun saya tinggalkan. Saya meragukan semuanya tentang ajaran kebenaran agama saya. Saya diam, saya bertanya tak ada jawaban, saya kesal, saya murka.

Permasalahan ekonomi ini akhirnya berimbas pada rumah tangga dan pernikahan pertama saya yang dulu. Istri saya kembali ke rumah mertua. Kemudian saat itu anak saya yang tertua demam, panas tubuhnya 39 derajat celsius dan sudah tidak bisa bangun. Adiknya pun mengalami hal yang sama. Mereka masih balita, baru berusia 4 dan 2 tahun.

Listrik di rumah sudah dipadamkan PLN, tidak ada makanan, tidak ada uang di tangan, dan setiap saat ada telepon dari penagih utang-utang saya. Saya berutang pada Iebih dari 5 institusi keuangan dan Iebih dari 60 individu. Dari yang utangnya sejumlah 1 juta hingga milyaran.

Puncaknya, suatu hari saya ditelepon oleh seorang pemberi utang yang mungkin sudah muak dengan saya. Dengan kasarnya dia bilang akan mendatangi rumah saya sore itu dan dia akan menagih. Kalau tidak dibayar maka dia akan paksa. Gaya bicaranya sudah seperti preman. Tumpah darah pun dia siap, katanya.

Saya tidak ada pilihan lain, hanya bisa mengasah pisau. Saya sudah tidak sanggup lagi dan bersiap untuk kemungkinan terburuk. Kalau memang orang itu menantang pertumpahan darah, terpaksa saya melawan. Saat itu rasanya saya siap membantai orang. Saya sudah tidak peduli lagi akan apa yang terjadi. Saya sudah tidak punya apa-apa, bahkan harga diri pun tidak ada. Saya siap mati.

Kedua anak saya yang demam, membujur lemas di lantai beralaskan bedcover. Yang satu minum dari botol air tajin beras, yang satu hanya diam dengan botol air mineral yang tidak diminumnya. Saya hanya menatap kosong. Ke dokter tak bisa, jalan tak bisa.

Karena itulah, begitu ada yang menantang harga diri saya yang sudah tidak punya apa-apa ini, saya siapkan jiwa raga. Dia yang menagih, kalau datang mencari ribut, akan saya bunuh! Ya, pikiran Iaknat itu sempat terlintas di benak saya.

Saat itu saya berpikir, toh dia orang rantau. Keluarganya tak ada di kota ini, temannya pun pasti tak banyak. Kalau saya terpaksa harus membunuh dia, akan saya kubur dia di halaman belakang. Tidak akan ada yang tahu. Rasanya saya benar-benar sudah dirasuki Dajjal.

Saya kumpulkan barang-barang yang sekiranya bisa saya pakai untuk membantai orang. Benda tajam, benda keras, benda panjang, semua senjata serang, saya tahu sekali bagaimana menggunakannya, dan saya tahu sekali di mana letaknya di setiap sudut rumah.

Kriiing, kriiing, kriiing. ...

Telepon rumah yang sudah diblokir dan hanya bisa menerima panggilan itu berdering, sementara saya masih melamun dengan gamang. Hingga dering kesekian, barulah saya tersadar. Mungkin itu si penagih utang lagi, pikir saya. Dengan gusar, saya pun mengangkat telepon.

"Halo!" kata saya dengan kasar.

'Assalamualaikum Mas, " kata suara di seberang dengan Iembut. Saya mengenalinya sebagai suara Pak Aly, pimpinan Yayasan Husnul Khatimah yang kemudian dikenaI sebagai Rumah Yatim Indonesia, panti asuhan yang saya bangun.

Saya pun terhenyak dan menjawab dengan nada melemah, "Waalaikumsalam, Pak Aly."

"Mas, saya telepon sampai 3 kali kok nggak diangkat? Lagi sibuk, Mas?" tanya Pak Aly dengan logat Lamongan-nya yang khas.

"Maaf, Pak Aly. Saya sedang ada kesibukan. Apa kabar?" sahut saya dengan mengatur nafas yang sedang emosi.

"Mas, dengar-dengar sedang ada masalah, ya? Istri pergi, anak sakit, rumah dan isinya sudah dijual, listrik diputus. Apa benar Mas?" tanyanya dengan serius.

Dengan berat, saya menjawab, "Iya, benar, Pak Aly. "

"Mbok ya kalau ada masalah begini, ceritalah ke saya, Mas," kata Pak Aly.

Saya tertegun mendengar kalimatnya.

Kemudian Ianjutnya, "Mas, walaupun kita miskin, yayasan kita sedang ada pegang uang. Kalau Mas butuh, ada nih 3 juta. Pakai saja dulu, Mas. Mas berhak, kok. Sudah 5 tahun Mas membangun yayasan ini, kalau ada masalah seperti ini, Mas punya hak untuk memakai atau meminjamnya, Mas. Saya ke rumah sekarang ya, biar Mas bisa bawa anak-anak ke dokter. Saya antar."

Nyeeesss. ... Rasanya saat itu bara di hati saya seakan disiram seember es batu. Saya tertegun, terduduk dan menangis tersedu-sedu. Saya tak kuasa menahan getaran di dada, antara haru, malu, senang, kesal semua jadi satu.

Dengkul saya keduanya di lantai, tangan kanan saya masih memegang kelewang—pedang pendek— yang terasah tajam. Sesaat kemudian saya buang jauh. Yang ada hanya diri saya tersungkur bersujud. Saya salah, saya salah, saya salah.., batin saya memohon taubat.

Tak lama kemudian, selagi saya terduduk menatap langit, di bawah pohon kelapa di teras belakang rumah saya, terdengar suara bariton yang mengucap salam.

“Assalamualaikum," sapanya. Saya pikir Pak Aly, rupanya bukan.

Ah, ini dia orang yang tadinya akan menagih utang dengan menantang saya.

Saya pun menjawab, "Waalaikumsalam."

Tanpa basa-basi, dia langsung bertanya, "Begini Pak, utang Bapak yang 10 juta, apa bisa saya ambil sekarang?"

Saya hanya berkata, ”Anak saya sakit. Saya perlu uang untuk biaya anak saya. Sebentar lagi ada uang 3 juta datang. Terserah Mas mau ambil berapa, Mas yang atur." Kalimat itu mengalir tanpa saya rancang. Marah saya sudah hilang, saya pasrah saja.

"Oh..., begitu ya Pak," katanya dengan nada datar. “Anak  Bapak sakit dua-duanya? Yang berbaring di dalam itu?" tanyanya sambil mengedikkan kepala ke ruang tengah.

“Iya." jawab saya singkat.

"Oh, maaf kalau begitu. Saya nggak tahu kalau anak Bapak sakit. Sebaiknya Bapak urus mereka. Uang saya gampang. Saya pamit saja dulu. Besok-besok kabari saya ya Pak," katanya tanpa diduga-duga.

Dia pun pamit pergi dan saya masih dalam posisi bingung, lunglai di ujung bangku di bawah pohon. Tubuh saya berkeringat. Saya memaksa diri untuk bangun dan mengikuti dirinya dari belakang sambil memanggilnya "Mas, saya pasti bayar utang saya. Saya hanya butuh waktu.

Maafkan saya ya Mas, kalau saya kasar atau panik," kata saya. Ketika dia berbalik badan, saya julurkan tangan saya yang kemudian dia sambut dengan jabat tangan yang erat dan senyum di bibirnya.

Dia pun berkata, "Iya Pak, saya juga minta maaf."

"Saya salah Mas," kata saya, "saya berutang tapi tidak berkemampuan. Tapi saya janji Mas, saya pasti bayar."

Tak lama setelah dia pergi, datanglah Pak Aly dengan Kijang tua-nya. Tanpa basa-basi, langsung saya peluk erat dia. "Pak Aly, syukron... terima kasih," kata saya.

“Ayo ke dokter, Mas. Aku bawa Fathur, Mas gendong Azka," ajaknya singkat.

Setelah dua tahun dihajar musibah yang merusak keyakinan saya, akhirnya saat itu saya menyadari satu hal. Semua masalah yang saya alami, itu berasal dari diri saya sendiri, hal lain di luar diri saya hanyalah pelengkap.

Saya langsung berdoa, ‘Maafkan saya, ya Allah... ampuni saya. Engkau begitu mulia, dan saya selama ini salah memandang-Mu. Saya sadar bahwa saya sendiri-Iah yang harus bertanggung jawab dan menyelesaikan semua ini. Saya-Iah yang in charge sepenuhnya. Maafkan saya telah meragukan kuasa-Mu, ya Allah.'

Saya memilih untuk berdamai dengan Tuhan, dan saya ingin memulai sesuatu dengan kesadaran penuh untuk mengubah nasib saya, menulis ulang sejarah hidup saya. Saya mendapat semacam pemahaman bahwa cara berpikir saya saat itu tidak bekerja dengan benar. Buktinya saya rugi. Buktinya saya bangkrut. Buktinya semua orang menjauh.

Artinya, saya harus mengubah cara berpikir saya. Harus ke mana dan bagaimana saya bisa mengubahnya? Itulah pertanyaannya.

Tak lama setelah menjual rumah, saya pindah ke rumah kontrakan yang sempit. Suatu sore, tetangga rumah kontrakan saya pulang kantor. Kaca mobilnya terbuka separuh. Dia rupanya ingin membuang sesuatu, mungkin sampah.

Agaknya dia tidak melihat saya berdiri di sisi jalan tersebut. Mungkin karena maghrib yang pencahayaannya mulai samar, mungkin juga dia tidak fokus karena sibuk mengumpulkan barang yang akan dibuangnya.

Bruk... segumpal kertas jatuh tepat di kaki saya. Entah mengapa saya tergerak untuk memungutnya. Mungkin karena saya tertarik dengan tulisannya yang berwarna merah mengkilat. Setelah membuka lipatannya, saya baca kertas itu yang ternyata merupakan brosur Millionaire Mindset Training... di Australia.

Saya merasa aneh dan terkejut. Inikah jawaban dari doa yang saya panjatkan?

Saya berdiri termenung. Rupanya tetangga saya tadi baru sadar bahwa sampah yang dibuangnya jatuh di depan saya. Dia pun menghampiri saya. "Mas, maaf aku nggak lihat,” katanya dengan kikuk.

"Lho, nggak apa-apa. Aku-nya juga lagi ngelamun, nggak ngeh. Aku baru ngeh pas lihat brosur ini," kata saya berbasa-basi sambil menunjukkan Iembaran tersebut.

"Iya tadi saya dapat dari kantor. Tapi sepertinya nggak mungkin saya ke sana. Hehehe... bukannya nggak butuh jadi orang kaya, sih. Tapi harganya itu Iho, buat seminggu saja 30 juta rupiah. Mending juga buat modal dagang," urainya.

Saya hanya mengangguk-angguk sambil tersenyum sopan. "Saya pamit ya, Pak Syarif, " kata saya.

"Ya, Mas. Maaf ya tadi benar-benar nggak sengaja, Mas," katanya sungguh-sungguh

"Nggak apa-apa BOS, santai aja," kata saya lagi.

Setelah itu saya langsung sibuk berpikir. di mana saya bisa cari uang 30 juta? Belum lagi uang untuk sangu keluarga di rumah sementara saya pergi. Yang jelas, saya sudah bertekad untuk berubah dan saya melihat ini sebagai solusinya. Saya percaya itu.

Singkat cerita, harta terakhir saya yaitu motor Tiger, mesin jahit, dan beberapa barang keluarga, saya jual. Saya nekat terbang ke Negeri Kangguru. Saya menginginkan ilmu tersebut. Saya pun berangkat untuk mengikuti Millionaire Mindset Training di sana dengan harapan bisa menerapkannya untuk memperbaiki kondisi ekonomi saya di sini.

Kira-kira sebulan setelah kembali dari pelatihan selama 7 hari tersebut, ternyata tidak ada perubahan apa-apa dalam perjalanan hidup saya. Saya masih menganggap bahwa apa yang saya pelajari itu agak aneh. Agak nggak kena di logika.

‘Mek ngono tok, opo iyo? Kayak gitu doang, memang bisa?' batin saya.

Memang benar. Saya meragukan dan saya menganalisis, mencoba mengurai maksud dari pelatihan tersebut, tetapi saya lelah. Keadaan saya masih begitu-begitu saja. Saya belum bisa dapat uang lagi. Saya belum bisa meIunasi tunggakan utang. Saya belum bisa mengubah nasib saya.

Apakah saya harus belajar lagi?

Saya mencoba mengingat mundur pengalaman hidup saya. Semua itu terjadi hingga di usia 26 tahun. Benar, saya merasa seakan berjalan di jalan bebas hambatan. Semuanya mudah, semuanya gampang. Pada saat itu, saya bahkan "menggampangi" proses—saat ini, justru "proses" merupakan hal yang paling saya hormati.
Barulah sejak usia 28 tahun, kehidupan saya mengalami pasang surut yang Iuar biasa. Baik dari masalah pribadi yang personal, masalah spiritual ketuhanan, masalah rumah tangga, masalah parenting, hingga keuangan.

Di kala saya berpikir Iaut itu berair tenang, saya memilih mengangkat jangkar dan mengembangkan layar ke sebuah tujuan pasti, yaitu ingin sukses. Dengan tujuan hanya tahu satu arah, yaitu ke depan.

Sebuah kesombongan yang saya bayar sangat mahal. Sangat melelahkan, penuh duka, air mata, dan keringat. Ternyata Iaut di depan tidak semanis gelombang di pantai. Dalam perjalanan, ombak besar, angin kencang, bahan bakar kurang, sumber daya terbatas.

Satu hal yang saya lupa. Saya tidak bawa kompas penunjuk arah.

Dalam artian, saya mengarungi samudra tanpa ilmu, tanpa petunjuk, tanpa pembimbing. Mentang-mentang punya glory from the past, kisah sukses masa Ialu, saya merasa bisa meIakukan apa saja.

Inilah biang masalah saya di masa ke depannya sejak keputusan saya mengarungi samudra. Hingga sampailah saya di titik ketika kapal saya akhirnya karam ke dasar samudra, sementara badan saya terdampar di pulau kecil sendiri dengan kebutuhan dasar seadanya.

Saya hanya bisa diam. Meratap pun tidak bisa. Air mata habis. Tenaga tak punya. Yang ada hanya nafas di badan, itu pun setiap tarikan nafas terasa sesak. Seakan-akan dada ini mau meledak karena terisi oleh rasa kesal, Ielah, marah, dan kecewa.

Karena itu, ketika saya memutuskan untuk berubah. Artinya saya tidak mau meIakukan semuanya dengan cara yang sama seperti masa Ialu. Saya harus meIakukannya dengan cara yang berbeda.

Karena itulah saya memutuskan bahwa saya harus berilmu agar saya memiliki platform atau fondasi baru, terutama untuk cara saya berpikir.

Ibaratnya, saya bukan hanya perlu belajar dan meng-install software baru. Tapi OS atau operating system-nya harus saya reset untuk bisa terhubung dengan software tersebut.

Sederhananya begini, jika otak kita yang kemampuannya maha dahsyat ini adalah hardware pemberian Tuhan, software-nya kita sendiri yang pasang.

Sebut saja software sukses, software sehat, software bahagia, itu semua manusia yang install. Jadi, hardware-nya memang pemberian Tuhan, tetapi software-nya buatan manusia.

Mungkin banyak pembaca yang berkerut ketika saya membawa-bawa hal ini. Tapi coba saya berikan ilustrasi. Seorang anak yang hidupnya dikritik, dimarahi, ditekan, dipaksa, diharuskan, dibatasi, dilarang, dimaki, dan dihina akan membuat dirinya tumbuh sebagai pribadi yang peragu, pemarah dan pendendam.

Bandingkan dengan anak yang didorong, dipuji, disayang, diperhatikan, didukung, dan dikelilingi suasana penuh canda tawa, sang anak akan memiliki "platform" hidup Iebih ringan, fun, banyak senyum, dan vibrasi dirinya disukai orang.

Yang saya maksud di sini adalah, software seseorang di-install oleh orangtua dan lingkungan sekitarnya. Dan, tentu saja, software yang buruk bisa diganti, diubah, bahkan dibuang bila kita mau. Sesuatu yang dipasang, umumnya bisa juga dilepas, bukan? Bukan sesuatu yang permanen. Teman-teman dari bidang psikologi mungkin mengenal ini sebagai sesi "therapeutic" dalam dunia psikologi.

Ketika mencari kompas ilmu dan perubahan pola pikir itulah; baru saya sadar. Selama ini saya menerima hasil sebuah printer yang isinya salah, Ialu saya mati-matian memberi tip X pada tulisan dalam kertas itu. Begitu seterusnya.

Saya tidak sadar bahwa yang harus saya ubah justru dokumen yang akan di-print, bukan yang sudah di-print. Yang salah bukan printer-nya, melainkan data di dalam komputernya. Kalau isi komputernya sudah benar, baik itu software maupun datanya, hasil yang di-print pasti tidak akan salah.

***

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter