Nyaris menjadi peluang
Pada tahun 1997, saya berkunjung ke rumah kawan lama. la merupakan anak dari mantan pejabat orde lama. Ketika berkunjung, kebetulan ia sedang menghitung biaya pendidikan untuk anaknya sampai ke tahap kuliah. Setelah dihitung, tertera angka yang luar biasa, yaitu tiga miliar padahal anaknya saat itu masih duduk di Sekolah Dasar.
Sambil bercerita, ia menceritakan proyek yang sedang digarapnya. Saat itu, ia sedang mengerjakan proyek jalan to1 Bandung terusan Pasteur ke daerah Jatinangor. Kemudian, saya meminta copy dari skema proyek tol tersebut. Saya mencoba mempelajari skema tersebut dan memerhatikan ke mana saja akses keluar-masuk pintu tol.
Di sebuah kesempatan pada pertemuan keluarga, saya meminta pendapat untuk membeli tanah di sekitar akses to1 ini. Ketika keluarga menyetujui, saya berburu dan mencari tanah di banyak tempat di Bandung yang berdekatan dengan akses keluar masuk pintu tol Pasteur-Jatinangor.
Pada saat itu, harga tanah di daerah tersebut masih berkisar sekitar Rp15.000 per meter. Pada tahun 2002, proyek jalan tol mulai dikerjakan. Sungguh sebuah peluang yang harus sabar saya tunggu lebih dari 5 tahun. Sekarang kami rasakan manisnya. Tanah yang saya beli sekitar 2.000 meter siap untuk dijual pada saat to1 akan dipakai. Perilaku "nyaris berada di pinggir jurang" memberikan banyak keuntungan. Selembar kertas pada tahun 1997 berubah menjadi keuntungan yang berlipat-lipat.
Banyak yang heran dengan perilaku saya yang seolah-olah hidup di pinggir jurang dalam berbisnis, seperti orang yang punya kewajiban atau utang yang besar. Saya memang selalu haus pada peluang dan tantangan karena inilah yang membuat hari-hari menjadi lebih bernilai. Saya sangat menghargai sebuah proses dan hasil.
Posting Komentar
Posting Komentar