Butuh Nyali untuk Mewujudkan Ide

Ide tanpa aksi hanyalah mimpi

Saya ingin bercerita ketika saya masih bekerja di sebuah bank swasta. Saat itu ada sekitar 35 orang karyawan di bank tersebut. Yang menjadi fokus saya saat itu adalah bagaimana cara memanfaatkan waktu luang di luar jam kerja. Salah seorang di antara rekan kerja ada yang "nyambi" bekerja sebagai sopir taksi pada malam hari. Padahal jika dilihat dari standar gaji yang diterimanya, itu sudah mencukupi. Namun, ia beralasan untuk mencari pengalaman dan jaringan dari penumpangnya. Ada juga yang mengisi waktunya dengan berjualan benda-benda eksotik seperti kens dan benda seni lainnya. Ada juga yang aktif di MLM, melanjutkan studi, atau mengikuti kursus-kursus untuk menambah ilmu.

Memang tidak semua rekan kerja saya mampu memanfaatkan waktu luangnya untuk beraktivitas dan mencari peluang. Setelah 12 tahun berlalu, saya bisa melihat perbedaan yang cukup luar biasa. Kehidupan perekonomian rekan kerja yang mampu memanfaatkan waktunya untuk bekerja ekstra ternyata jauh lebih baik dibandingkan yang hanya bekerja murni sebagai pegawai bank swasta. Mereka yang hanya menjadi pegawai tidak semuanya sejahtera karena banyak di antara mereka yang kena PHK setelah bank tempat saya bekerja terkena likuidasi. Mereka yang hanya mengandalkan kemampuan sebagai pegawai bingung karena tidak tahu harus bagaimana dan berbuat apa ketika di PHK.

Sampai saat ini, beberapa di antara teman-teman saya masih belum mendapatkan jalan keluarnya. Untuk melamar pekerjaan lagi, rasanya lumayan cukup sulit karena bertambahnya usia dan persaingan yang ketat. Saya sebenarnya cukup prihatin melihat keadaan ini. Saya sering meluangkan waktu dengan mereka sekadar berbincang-bincang untuk menanyakan kabar mereka.

Sebenarnya banyak di antara mereka yang mempunyai banyak ide hebat untuk berwiraswasta, bahkan menurut saya ide-ide mereka sangat kreatif Jika direalisasikan, sepertinya akan menjadi sebuah bisnis yang hebat. Namun, satu permasalahannya, mereka tidak punya nyali untuk menjalankan sehingga ide-ide itu hanya menjadi sebuah wacana saja. Pendidikan, wawasan, dan koneksi memang diperlukan untuk menambah ilmu, tetapi tindakan jauh lebih diperlukan. Jadi, perbanyaklah aksi dan jangan hanya mengembangkan ide semata.

Saya memerhatikan, mengapa banyak orang yang berani berwirausaha setelah berumur sekitar 40 tahun, setelah pensiun, atau sesudah di-PHK. Padahal jika dilihat, mereka mempunyai modal yang cukup untuk mulai membuka usaha sendiri saat usia masih produktif (25-35 tahun). Dan, bukankah kebanyakan dari mereka itu lulusan dari sekolah tinggi sehingga secara pendidikan sangat terbuka wawasannya. Namun, justru mereka yang tidak memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi dan modal yang mencukupi, ternyata berani membuka usaha sendiri pada saat usianya masih produktif. Padahal, keterampiIan mereka bisa dibilang minim. Di sini terlihat erbedaan yang cukup mencolok antara wirausahawan dengan pekerja atau pegawai. Mereka yang berwirausaha lebih ajeg atau matang secara psikologis, sedangkan para pegawai kelihatannya saja ajeg, tetapi jika digali lebih dalam ternyata masih rentan.

Kesimpulan saya, mungkin saja mereka ragu atau tidak tahu harus bagaimana. Terlalu banyak teori yang kita dapatkan akan sia-sia saja tanpa ada praktik secara langsung. Terlalu banyak teori terkadang membuat kita menjadi rikuh, bingung, bahkan ragu mengambil tindakan. Saya memperhatikan, semenjak ide tercetus di pikiran kreatif bila langsung digerakkan atau dikerjakan, biasanya tingkat keberhasilannya lebih tinggi. Ketika kita menguasai teori, tetapi tidak berani mempraktikkan, ide bisnis sedahsyat apa pun akan sulit menjadi kenyataan. Misalnya, belajar berenang. Secanggih apa pun teori renang yang kita pahami tanpa pernah menceburkan diri ke dalam air belum bisa dikatakan bisa berenang. Sementa ra, mereka yang langsung menceburkan diri ke dalam air, kemudian hanya bisa mengambang, akan lebih mudah memelajari gaya apa pun sekalipun baru mengenalnya.

Pendidikan saat di bangku atau kuliah bagaikan teori renang berbagai gaya. Bisa jadi, sang dosen mungkin menguasai praktik dan teori, tetapi kebanyakan mahasiswanya hanya bisa menyerap teorinya saja. Sementara bimbingan secara praktik nyaris jarang atau bahkan tidak dilakukan sama sekali. Tercetus dari sistem pendidikan yang searah, kami membuka School for Entrepreneur sebagai sekolah entrepreneur sejati. Saran dan pengalaman saya mengatakan "kerjakan saja tanpa pikir panjang, persiapkan teorinya, dan kerjakan dengan segera". Seorang entrepreneur yang mumpuni akan mentolerir ambiguitas (ketidakjelasan) tersebut dan merekalah yang membuat kesamar-samaran menjadi jelas. Kalau kita menunggu menjadi jelas, kita akan kehilangan momentum dan hanya menjadi "me too" (ikut-ikutan).

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter